SEJARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pendidikan di Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Pendidikan diindonesia
padazaman sebelum kemerdekaan dapat digolongkan kedalam tiga periode, yaitu: 1)
pendidikan yang berlandaskan ajaran keagamaan; 2) pendidikan yang berlandaskan
kepentingan penjajah; dan 3) pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan.
A.
Pendidikan Hindu-Budha
Ajaran hindu dan Budha memberikan corak pada praktek
pendidikan di Indonesia pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di
Kalimantan (Kutai), Pulau Jawa (Tarumanegara hingga Majapahit), Bali dan
Sumatera (Sriwijaya).
Pada periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di
Nusantara, sistem pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang dilaksanakan
di biara-biara atau padepokan.Pada perkembangan selanjutnya, muatan pendidikan
bukan hanya berupa ajaran keagamaan, melainkan ilmu pengatahuan yang meliputi
sastra, bahasa, filsafat, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum.
Kerajaan-kerajaan Hindu di tanah Jawa banyak melahirkan para empu dan pujangga
besar yang melahirkan karya-karya seni yang bermutu tinggi. Pada masa itu,
pendidikan mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi dikendalikan oleh para
pemuka agama. Pendidikan bercorak Hindu-Budha semakin pudar dengan jatuhnya
kerajaan Majapahit pada awal abad ke-16, dan pendidikan dengan corak Islam
dalam kerajaan-kerajaan Islam datang menggantikannya.
B.
Pendidikan Islam
Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak
datangnya para saudagar asal Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Di
pulau Jawa, pusat penyebaran Islam membentang mulai Banten, Cirebon, Demak
hingga ke Gresik. Lama kelamaan, bersamaan dengan pudarnya kerajaan-kerajaan
Hindu, ajaran Islam makin berkembang dengan baik di pesisir maupun di pedalaman
pulau-pulau Jawa dan Sumatera.
Di pulau Jawa dan Sumatera yang penduduknya lebih
dahulu mengadakan kontak dengan pendatang dari luar Indonesia (terutama dari
Cina, Indiadan Indocina), didapati pendidikan agama Islam di masa pra kolonial
dalam bentuk pendidikan di surau atau langgar, pendidikan di pesantren, dan
pendidikan di madrasah. Praktek pendidikan di langgar dan di pesantren berbeda
dengan cara mengajar di sekolah-sekolah modern yang menggunakan sistem yang
formal dan berjenjang. Pendidikan di Indonesia baru mengenal sistem berjenjang
yang formal sejak masuknya pengaruh Belanda. Namun hingga datangnya kolonial
belanda dan bahkan hingga sekarang, ketiga corak pendidikan Islam yaitu
pendidikan di langgar, pesantren, dan madrasah tetap bertahan.
C.
Pendidikan Katolik dan Kristen-Protestan
Pendidikan Katolik berkembang mulai abad ke-16
melalui orang-orang Portugis yang menguasai Malaka. Misi mereka yang dikenal
dengan misi suci (mission sacre)
dilaksanakan bersama-sama dengan misi pencarian rempah-rempah. Segera setelah
mereka menduduki suatu daerah atau pulau, usaha pertama yang dilakukannya
adalah menjadikan penduduk setempatsebagai pemeluk Katolik-Roma. Kekuasaan
portugis tidak berlangsung lama, hanya sekitar setengah abad, karena diusir
oleh Spanyol. Kemudian Spanyol menyebarkan agama Kristen-Protestan dan
mengembangkan sistem pendidikannya sendiri yang bercorak Kristen-Protestan.
D.
Pendidikan pada Zaman VOC
Sebagaimana bangsa Portugis sebelumnya, kedatangan
bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 mula-mula untuk tujuan dagang
dengan mencari rempah-rempahdengan mendirikan VOC. Misi dagang tersebut
kemudian diikuti oleh misi penyebaran agama yang terutama dilakukan dengan
mendirikan sekolah-sekolah yang dilengkapi asrama untuk para siswa. Di sana
diajarkan agama Kristen-Protestan dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, dan
sebagian menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-16, VOC mendirikan
sekolah di pulau-pulau Ambon, Banda, Lontar, dan Sangihe-Talaud. Pada periode
berikutnya, didirikan pula sekolah-sekolah dengan jenis dan tujuan beragam.
Pendirian sekolah-sekolah tersebut terutama diarahkan untuk kepentingan untuk
mendukung misi VOC di Nusantara.
E.
Pendidikan Pada Zaman Kolonial Belanda
Pudarnya VOC pada akhir
abad ke-18 menandai masa datangnya zaman kolonial Belanda. Tugas untuk mengatur
pemerintahan dan masyarakat yang sebelumnya ditangani oleh Kompeni (institusi
dagang) kemuadian diambil alih oleh Pemerintah Belanda yang menjadikan
Hindia-Belanda sebagai tanah jajahan.
Sistem pendidikan
diubah dengan menarik garis pemisah antara sekolah Eropa dan sekolah
Bumiputera. Sekolah Eropa diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan anak-anak
orang Eropa di Indonesia. Sedangkan sekolah Bumiputera yang tingkatan dan
prestisenya lebih rendah diperuntukkan bagi anak-anak bumiputera yang terpilih.
Ada lagi sekolah Cina bagi anak-anak Cina. Mulai akhir abad ke-19 dan hingga
dasawarsa awal abad ke-20 lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sangt beragam
meliputi sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah raja, sekolah pertukangan,
sekolah kejurauan, sekolah-sekolah khusus untuk perempuan Eropa dan pribumi,
sekolah dokter, perguruan tinggi hukum, dan perguruan tinggi teknik.
F.
Pendidikan Pada Masa Pendudukan Jepang
Meskipun singkat,
berlangsung pada tahun 1942-1945, masa pendudukan Jepang memberikan corak yang
berarti pada pendidikan di Indonesia. Tidak lama setelah berkuasa, jepang
segera menghapus sistem pendidikan warisan Belanda yang didasarkan atas
penggolongan menurut bangsa dan status sosial. Tingkat sekolah terendah adalah
Sekolah Rakyat (SR)yang disebut dalam bahasa Jepang Kokumin Gakko, yang terbuka untuk semua golongan masyarakat tanpa
membedakan status sosial dan asal-usulnya. Kelanjutannya adlah Sekolah Menengah
Pertama (SMP) selama tiga tahun, kemuadian Sekolah Menengah Tinggi (SMT) selama
tiga tahun. Sekolah kejuruan juga dikembangkan. Sekolah Hukum dan MOSVIA yang
didrikan oleh Belanda dihapuskan. Di tingkat pendidikan tinggi, pemerintah
pendudukan Jepang mendirikan Sekolah Tinggi kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Perubahan lain yang
sangat berarti di kemudian hari ialah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar
pertama di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintahan, dan bahasa pengantar
kedua adalah bahasa Jepang. Sementara itu, bahasa Belanda dilarang sama sekali
untuk digunakan baik di sekolah-sekolah maupun di kantor-kantor, Sejak saat itu,
bahasa Indonesia berkembang pesat sebagai bahasa pengantar dan bahasa
komunikasi ilmiah.
Tujuan utama pendidikan
pada masa pendudukan Jepang diarahkan untuk mendukung pendudukan jepang dengan
menyediakan tenaga kerja kasar secara cuma-cuma yang dikenal dengan romusha. Di sekolah, para siswa
mengikuti latihan fisik, baris berbaris meniru tentara Dai Nippon, latihan
kemiliteran disertai indoktrinasi yang intinya kesetiaan penuh pada kaisar
Jepang. Pemuda-pemuda yang menapak dewasa dijadikan romusha dan sebagian
direkrut untuk menjadi tentara.
Perintis Perguruan Pertama Kali di Indonesia
Ada
empat perguruan yang secara kronologis pertama berdiri di Indonesia. Yaitu,
Muhammadiyah, Taman Siswa, Ma’arif, dan INS Kayutanam. Keempatnya dibicarakan
disini karena sama-sama merupakan tanggapan bangsa Indonesia terhadap keadaan
pada masa penjajahan. Meskipun masing-masing lembaga pendidikan tersebut
berdiri dengan dasar dan tujuan yang berbeda-beda, namun misi dan sifat
pedagogis, nasional, politis, keagamaan, atau kombinasi nasional-pedagogis,
nasional-religius, atau nasional-politis. Dari keempat perguruan tersebut, yang
masih giat menyelenggarakan pendidikan dengan jangkauan yang luas di Tanah Air
adalah Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Ma’arif. Sedangkan INS Kayurtanam telah
hancur secara fisik pada tahun 1949.
A.
Muhammadiyah
Muhammadiyah
lahir dibawah pengaruh kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia yang saat itu
masih bernama Hindia Belanda yang dimulai dengaan berdirinya Budi Utomo pada
tahun 1908. Dalam pemikiran keagamaan, saat itu ke Indonesia datang pula
gelombang pembaharuan dalam agama islam yang bersumber dari Mesir, Arab dan
India. K.H. Achmad Dahlan yang mempelajari pembaharuan-pembaharuan itu
mendirikan perkumpulan Muhammadiyah. Misi Muhammadiyah untuk menyebarkan agama,
kemudian membuka dan menyelenggarakan pendidikan, baik sebagai sarana untuk
menerdaskan bangsa yang dibodohi oleh pemerintah Belanda maupun sebagai sarana
menyebarkan syiar islam (Supriyadi,
2006 : 4.3).
Muhammadiyah
didirikan di kampung Kauman, Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Sekolah
Muhammadiyah pertama didirikan tahun 1911, satu tahun sebelum Muhammadiyah
berdiri. Dalam perkembangan kemudian, sekolah ini menjadi Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga tahun. Sebagai pendiri, K.H.
Achmad Dahlan telah aktif memberikan pendidikan tentang agama dan pengetahuan
lainnya kepada penduduk di sekitar kampungnya. Muhammadiyah kemudian juga
mendirikan sekolah rakyat tiga tahun yang diberi nama Sekolah Kesultanan (Sultanaatschool), menyusul kemudian HIS
Muhammadiyah, sekolah menengah yang dimulai dengan MULO yang diberi subsidi
oleh Pemerintah Belanda, juga sebuah Algemene
Middel School (AMS) dan Holland
Inlandse Kweekschool. Kurikulum sekolah-sekolah Muhammadiyah di masa itu
menyeimbangkan muatan pelajaran agama dan umum dengan porsi masing-masing
sekitar 50%.
Dasar
dari Muhammadiyah adalah pembaharuan di bidang agama yang pada hakikatnya
mengikuti gerak hidup zaman dan mengeluarkan golongan Islam dari isolasi
sekaligus secara positif bergerak di bidang sosial dan pendidikan.
B.
Taman
Siswa
Taman Siswa sejak pendiriannya
mempunyai tujuan politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Tujuan ini jelas dari
pertimbangan Ki Hajar Dewantara, pendirinya, sewaktu berada di pengasingan di
Negeri Belanda untuk mendalami masalah pendidikan. Menurut Ki Hajar, rakyat
Indonesia harus benar-benar menyadari arti kehidupan berbangsa dan bertanah air
melalui pendidikan. Dengan mendirikan Kindertuin
atau Taman Kanak-kanak yang di kalangan Taman Siswa disebut Taman Indriya, pada
tanggal 3 Juli 1922. Lembaga pendidikan Taman Siswa diberi nama National Onderwijs Instituut Taman siswa
dengan Taman Indriya sebagai tingkat terendah.
Pendidikan Taman Siswa selanjutnya
mengakui hak-hak anak untuk bebas yang dinyatakan tidak tanpa batas. Batas itu
antara lain adalah lingkungan dan kebudayaan. Pengakuan atas kebebasan anak
adalah suatu prinsip pendidikan yang sangat pokok pada Taman Siswa. Prinsip
demokrasi dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan penegrtian sebgaia
berikut.
1. Anak
dalam pendidikan merupakan pusat perhatian pendidik.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan
yang terus berjalan, lingkungan anak makin luas dan segala sesuatu yang
dijumpainya akan dijadikan miliknya. Hal ini kemudian melahirkan prinsip konsentris, kontinue, dan konvergen
yang terkenal dengan istilah “tri-kon”
2. Musyawarah
sebagai prinsip demokrasi tetapi menghargai pimpinan.
Ki Hajar Dewantara menganggap perlu
ada suatu kewibawaan yang pada suatu ketika mengarah pada musyawarah dan
mufakat.
3. Dasar
demokrasi membawa kewajiban untuk memikul tanggung jawab.
Dasar demokrasi yang mengakui hak
anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya telah melahirkan metode
“among” dengan semboyan “tut wuri
handayani” yang kemudian diadopsi menjadi semboyan pendidikan nasional.
dasar demokrasi telah membawa Taman Siswa menjadi tidak kaku dan melahirkan
prinsip hidup kekeluargaan yang dikalangan Taman Siswa dipraktekan dengan
sungguh-sungguh.
Dengan
gambaran di atas, maka Taman Siswa, terutama dibidang pendidikan dan kebudayaan,
telah memberikan andil sangat besar terhadap pendidikan nasional. Bahkan
Undang-Undang Pendidikan No. 4 tahun 1950 praktis telah mencakup semua prinsip
Taman Siswa.
C.
Pendidian
Ma’arif
Pendidikan
Ma’arif saat ini merupakan bagian dari organisasi Nahdatul Ulama. Cikal Bakal
pendidikan Ma’arif mulai berkembang pada tahun 1916 ketika dua Kiyai, K.H.
Abdul Wahab hasbullah dan K.H. Mas Mansur, mendirikan kursus debat yan diberi
nama Taswirul Afkar. Kursus ini
kemudian berkembang dengan dibentuknya Jam’iyah
Nahdatul Wathon yang bertujuan memperluas dan meningkatkan mutu pendidikan
madrasah. Mulanya Ma’arif dalam bentuk Madrasah berkembang di Jawa Timur,
kemudian menyebar ke daerah-daerah lain dengan dipelopori oleh para ulama NU.
Mula-mula corak pendidikannya adalah menyerupai “pesantren yang diformalkan”,
dengan hanya memuat pendidikan agama dalam kurikulumnya. Dalam perkembangan
kemudian, sebagaimana Muhammadiyah, Ma’arif memasukkan materi umum ke
kurikulumnya.
Muktamar
II NU di Surabaya pada tahun 1927 memutuskan untuk memberikan perhatian yang
penuh pada pengembangan madrasah dengan dana ditanggung oleh umat islam, dan
menolak bantuan dari Belanda. Dalam Muktamar NU ke-4 di Semarang, para ulam
membentuk bagian khusus dalam tubuh NU yang menangani pendidikan, yang disebut
Ma’arif. Sejak saat itu gerak NU dalam mnyelenggarakan pendidikan semi-formal
yang coraknya banyak berbeda dengan pesantren yang menjadi basis NU mulai
berkembang dan ditangani secara sungguh-sungguh.
Basis pendidikan Ma’arif pada dasarnya adalah pesantren
yang juga merupakan basis utama kegiatan pendidikan NU. Hal inilah antara lain
membedakannya dengan Muhammadiyah yang lebih agresif dan sistematis dalam
mengembangkan sistem pendidikan sekolahnya dengan menerapkan manajemen modern.
Meskipun
perkembangan lembaga pendidikan Ma’arif tidak secepat dan seluas Muhammadiyah,
pendidikan ini ikut memberikan andil dalam pendidikan nasional, baik melalui
pemikiran-pemikiran para tokohnya maupun melalui lembaga-lembaga pendidikan
yang dimilikinya.
D.
INS
Kayutanam
Kayutanam
adalah suatu kota kecil dekat Padang Panjang. Di sanalah pada tahun 1926
didirikan Indonesische Nederlandche
School (INS), yang kemudian dikenal dengan INS Kayutanam. Pendirinya adalah
Muhammad Syafei (1896-1966) bersama Marah Soetan. Sekolah tersebut semula
dibawah pembinaan Organisasi Pegawai Kereta Api dan Tambang Ombilin.
Sekolah
ini didirikan sebgai tanggapan terhadap pendidikan Belanda yang berlansung saat
itu yang oleh Muhammad Syafei dinilai intelektualistik dengan mementingkan
kecerdasan dan kurang memperhatikan pemupukan bakat-bakat anak. Melalui INS
yang didirikannya ia berusaha agar para siswa tidak menjadi cendekiawan
setengah matang yang angkuh, tetapi menjadi pekerja cekatan yang rendah hati.
Di INS, para siswa dididik untuk bekerja teratur dan produktif agar dapat hidup
mandiri. Para siswa mendapatkan mata pelajaran Kerja Tangan atau Keterampilan,
Ilmu Bumi, Ilmu Alam, dan Menggambar untuk mempertajam pengamatan. Olahraga
yang mendapatkan tempat khusu di INS diajarkan sebagai wahana untuk membuat
anak-anak sehat dan kuat. Kemudian Bahasa diajarkan sebagai alat berfikir
secara teratur.
Falsafah yang mendasari gagasannya adalah “Tuhan tidak
sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya. Masing-masing mesti berguna dan
kalau tidak berguna itu disebabkan kita tidak pandai menggunakannnya”. (dikutip
dari Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, penerbitan Kementrian
Penerangan, hlm.778). INS Kayutanam mengembangkan sistem persekolahannya dengan
didasarkan atas “aktivitas” dan bertujuan untuk “melahirkan dan memupuk
semangat bekerja dan percaya kepada diri sendiri”
INS memupuk semangat nasionalisme di kalangan para
siswanya. Hal ini tampak dari tujuan pendidikannya yaitu agar siswa dapat
berdiri sendiri dan tidak perlu mencari jabatan di kantor pemerintahan yang
saat itu dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Muhammad Syafe’i
menunjukkan sifat sebagai pendidik yang demokratis dan memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menurut garis masing-masing
yang ditentukan oleh bakat dan pembawaannya.
Prinsip tidak
mengggantungkan diri pada orang lain juga dianut oleh Muhammad Syafe’i sendiri
yang menolak tawaran pemerintah Belanda untuk menerima bantuan. Pengembangan
lembaga pendidikannya diusahakan atas dasar prinsip “self-help” (mandiri) dengan mengumpulkan uang melalui
pertunjukkan, pameran hasil karya murid-murid, dan penjualan hasil kerja
mereka.
Meskipun gagasan dan praktek pendidikannya bagus, sistem
persekolahan yang dikembangkan oleh INS Kayutanam tidak berkembang di luar
daerahnya. Semangat nasionalisme dan non-kooperasi
dengan Belanda, yang dipupuk oleh INS Kayutanam, memang mampu membangkitkan
keengganan untuk bekerja di kantor pemerintahan yang pada waktu itu berarti
kantor pemerintahan yang dikendalikan Belanda. Pengorbanan yang diminta adalah
bekerja keras tanpa bantuan dari pihak maupun yang mengikat. Hal ini berarti
bahwa para pendidik dituntut untuk hidup sederhana dan mungkin dalam serba
kekuranga.
INS Kayutanam bertahan hingga masa
pendudukan Jepang, dan masa Perang Kemerdekaan (tahun 1949) dan kemudian
ditutup. Muhammad Syafe’i sendiri setelah tidak menangani INS, ditunjuk sebagai
Kepala Sekolah Guru Bantu (SGB). Dan tutup usia pada tahun 1966.
Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan
(1945-1969)
Pendidikan dan pengajaran sampai
tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor pengajaran yang terkenal dengan nama
jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan bagian dari kantor penyelenggara urusan
pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Setelah di proklamasikannya
kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar
Dewantara, pendiri taman siswa, sebagai menteri pendidikan dan pengajaran mulai
19 Agustus sampai 14 November 1945, kemudian diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia
dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946. tidak lama kemudian
Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai
dengan 2 Oktober 1946. karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada
dasarnya tidak bayak yang dapat diperbuat oleh para mentri tersebut.
Pada tanggal 1950 Perdana Menteri
Republik Indonesia,Drs. Mohammad Hatta, dan Perdana Merdana Republik Indonesia
Dr. A.Halim menandatangani suatu piagam persetujuan antara Pemerintah Republik
Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia yang antara lain
menyatakan:
a.
Menyetujui dalam waktu
sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan Indonesia
sebagai penjelmaan dari Republik indoonesia berdasarkan proklamasi 17 Agustus
1945. Sebelum Perundang-undangan kesatuan maka undang-undang dan peraturan yang
ada tetap berlaku, akan tetapi sedapat mungkin diusahakan supaya
perundangundangan Republik Indonesia (dahulu) berlaku.
b.
Menyetujui pembentukan panitia yang
bertugas menyelenggarakan segala persetujuan untuk menyelesaikan
kesukaran-kesukaran di berbagai lapangan dalam waktuu sesingkat-singkatnya.
Untuk
melaksanakan piagam persetujuan tersebut, maka dibentuk Panitia Bersama. Atas
usul Panitia Bersama tersebut, maka pada tanggal 30 Juni 1950 dikeluarkkan
suatu pengumuman bersama mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran.
Pengumuman itu antara lain menyatakan bahwa untuk tahun pengajaran 1950/1951
sistem pengajaran yang berlaku pada Indonesia dahulu dijalankan di seluruh
Indonesia denga maksud dalam waktu yang singkat system itu akan ditinjau
kkembali. Dangan adanya pengumuman bersama itu, maka penyelenggaraan bersama
pendidikan dan pengajaran sejak Agustus 1950 pada hakikatnyaberjalan atas dasar Undang-Undang Pokok Pendidikan dan
Pengajaran Republik Indonesia No. 4/1950. UU ini berlaku untuk seluruh wilayah
Indonesia dengan mengesampingkan segala
peraturan sebelumya berlaku didaerah-daerah diluar Republik Indonesia yang
berbeda dengan UU No. 4/1950.
A.
Tujuan
Dan Kurikulum Pendidikan
Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan
pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali perubahan. Sebagaimana tertuang
dalam surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP &
K), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional pada masa
awal kemerdekaan amat menekankan penanaman jiwa patriotosme. Hal ini dapat di
pahami, karena pada saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari penjajah
yang berlangsung ratusan tahun, dan masih ada gelagat bahwa Belanda ingin
kembali menjajah Indonesia. Oleh karena itu penanaman jiwa patrionisme melalui
pendidikan dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan negara yang baru
diproklamasikan.
Sejalan dengan perubahan suasana
kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun mengalami
perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patrionisme. Dalam Undang-Undang No.
4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. “Tujuan
pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia yang cukup dan warga negara
yang demokaratis secara bertanggung jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan
tanah air”.
Kurikulum sekolah pada masa-masa
awal kemerdekaan dan tahun 1950-an di tujukan untuk:
• meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
• meningkatkan pendidikan jasmani,
• meningkatkan pendidikan watak,
• menberikan perhatian terhafap kesenian,
• menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, dan
• mengurangi pendidikan pikiran.
• meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
• meningkatkan pendidikan jasmani,
• meningkatkan pendidikan watak,
• menberikan perhatian terhafap kesenian,
• menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, dan
• mengurangi pendidikan pikiran.
Menyusul meletusnya G-30 S/PKI yang
gagal, maka melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan
kebudayaan di adakan perubahan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu,
“Membentuk manusia pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti
yang dikenhendaki oleh pembukaan UUD 1945”.
B.
Sistem Persekolahan
Sistem pendidikan di Indonesia pada
awal kemerdekaan pada dasarnya melanjutkan apa yang dikembangkan pada zaman
pendudukan jepang. Sistem dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan
rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan rendah adalah Sekolah
Rakyat (SR) 6 tahun. Pendidikan menengah terdiri dari sekolah menengah pertama
dan sekolah menengah tinggi. Sekolah menengah pertama yang berlangsung tiga
tahun mempunyai beberapa jenis, yaitu sekolah menegah pertama (SMP) sebagai
sekolah menengah pertama umum; kemudian sekolah teknik pertama (STP), kursus
kerajinan negeri (KKN), sekolah dagang,sekolah kepandayan putrid (SKP) sebagai
sekolah menengah pertama kejuruan; serta sekolah guru B (SGB) dan sekolah guru
C (SGC) sebagai sekolah menengah pertama keguruan.
Sekolah menegah tinggi berlangsung
tiga tahun, meliputi sekolah menengah tinggi (SMT) sebagai sekolah menengah
umum, dan sekolah kejuruan berupa sekolah teknik menengah (STM), sekolah teknik
(ST), sekolah guru kepandayan putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA) dan kursus
guru.
Perkembangan lain yang penting
dicata pada era 1945-1969 ialah berdirinya42
Perguruan Tinggi Negara berupa Universitas, insitut dan sekolah tinggi
pada umumnya terletak di ibukota propinsi, sehingga kurun waktu tersebut dapat
dikatakan sebabgai “era pertumbuhan PTN” .
C.
Perkembangan Jumlah Siswa
Berbeda dengan pada zaman kolonial
Belanda yang membedakan kesempatan belajar atas dasar ras dan asal-usul
keturunan, pada zaman kemerdekaan kesempatan belajar dibuka untuk semmua orang,
baik mellalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Hal ini sejalan dengan bunyi
pasal 31 ayat 1 UUD 1945 bahwa
“Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”.Dalam UUD
pendidikan No. 4/1950 dan UU No.
12/1954,pasal 17, disebutkan bahwa, “Tiap-tiap warga negara Republlik Indonesia
mempunyai hhak yang sama untuk diterima mejadi murid suatu sekolah jika memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan untuk
pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu ”.
Ciri
yang menonjol diawal kemerdekaan ialah tingginya motivasi belajar para siswa
yang usianya sangat beragam, meskipun sarana yang tersedia hanya seadanya.
Keadaan ini merupakan hal yang wajar setelah rakyat Indonesia mengalami
berbagai pembatasan oleh penjajah. Pada masa itu,para pelajar bukan hanya belajar di sekolah atau ditempat kursus,
melainkanjuga mereka ikut terjun mempertahankan kemerdekaan. Statistik persekolahan mencatatbahwa sejak tahun 1945
terjadi lonjakan jumlah siswa dan tenaga kependidikan didisemua jenjang
pendidikan,hingga berkali-kali lipat dari periode sebelumnya.
Untuk pembelajaran rakyat yang pada umumnyamasih buta huruf pada masa-masa
awal kemerdekaan , pada tanggal 1 Juni 1946dibentuk Bagian pendidikan
Masyarakat pada Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang
bertugas:
a.
Memberantas
buta huruf
b.
Menyelenggarakan
kursus bahasa umum
c.
Mengembangkan perpustakaan rakyat.
Kondisi pendidikan pada PJP 1 : 1969-1993
Pembangunan jangka
panjang pertama, meliputi lima pelita, yaitu pelita I-V yang dimulai pada tahun
1969/1970 hingga tahun 1993/1994 atau 25 tahun. Selama kurun tersebut,
pendidikan Indonesia mengalami banyak bahan dan kemajuan .
A. UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Dalam rangka
membangun sistem pendidikan nasional yang mantap keberadaan UU no 2 tahun 1989
tentang sistem pendidikan nasional ( UU SPN) merupakan acuan penting yang patut
di catat UU SPN yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989 mengatur berbagai
aspek dan bidang pendidikan, yaitu dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan, hak
warga negara dalam pendidikan, satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan,
serta didik, tenaga kependidikan, sumber daya pendidikan, peran serta
masyarakat, badan pertimbangan pendidikan nasional (BPPN), pengelolaan,
pengawasan, dilengkapi ketentuan pidana dan ketentuan peralihan, jadi
cakupannya cukup konferensif.
B. Taman Kanak-Kanak
Sejak pelita I hingga
akhir pelita V, pendidikan di TK mengalami perkembangan yang cukup mengesankan
yang di tandai oleh kenaikan jumlah anak didik, guru, dan sekolah. Hal ini
menunjukan bahwa masyarakat khususnya orang tua semakin menyadari akan
pentingnya pendidikan prasekolah sebagai wahana untuk menyiapkan anak dalam
segi sikap, pengetahuan, dan keterampilan guna memasuki sekolah dasar.
C.
Pendidikan
Dasar
Prestasi yang sangat
mengesankan yang di capai selama pembangunan jangka panjang pertama(PJP I)
ialah melonjakan jumlah peserta didik pada sekolah dasar (SD) madrasah
IBTIDAYAH (MI) yang merupakan penggal pertama pendidikan dasar 9 tahun. Namun,
keberhasilan yang dicapai tersebut masih di hadapkan pada berbagai kendala,
antara lain masih tingginya angka putus sekolah dan angka tinggal kelas. Mutu
pendidikan tingkat SD belum begitu tinggi disamping terdapat keragaman yang
luas pada mutu pendidikan antara sekolah-sekolah yang berada pada lokasi
geografis yang berbeda-beda.
Pada tingkat SLTP, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga minimal berpendidikan SLTP maka pada tanggal 2 Mei 1994 program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di canangkan.
Pada tingkat SLTP, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga minimal berpendidikan SLTP maka pada tanggal 2 Mei 1994 program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di canangkan.
D. Pendidikan Menengah
Pada jenjang SLTA,
selama PJP I terjadi kenaikaan yang luar biasa pada jumlah siswa, yaitu dari
0,7 juta pada awal tahun pelita I menjadi 4,1 juta siswa. Persoalan yang
menonjol pada SLTA umum selama pelita V adalah tentang mutu lulusan yang
terutama di ukur dari kesiapan untuk memasuki jenjang pendididkan tinggi.
Perbedaan ini mengakibatkan akses keperguruan tinggi yang memiliki reportasi
yang baik, menjadi tidak merata pula. Dalam kenyataan, hanya sebagian kecil
lulusan SMK yang benar-benar memiliki persiapan untuk kerja. Hal ini terjadi
karena sistem pendidikan SMK selama ini belum sepenuhnya relevan dengan dunia
kerja. Di SMK, tantangan utama yang diihadapi pelita V adalah peningkatan mutu
dan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
E. Pendidikan Tinggi
Baik PTN maupun PTS
sama-sama menghadapi tantangan mengenai masih rendahnya proporsi mahasiswa yang
mempelajari bidang teknologi dan MIPA ( Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ),
sementara sebagian besar mahasiswa berada pada jurusan/progam studi ilmu-ilmu
sosial dan pendidikan. Pembangunan nasional banyak memerlukan lulusan bidang
MIPA dan tekologi.
Masih tingginya
jumlah mahasiswa yang lambat dalam menyelesaikan studi merupakan tantangan lain
yang dihadapi. Hai ini menunjukan bahwa efesiensi eksternal atau (relevansi)
yang merupakan tantangan besar. Itulah sebabnya, peningkatan relevansi
merupakan prioritas dalam pengembangan dalam pengembangan pendidikan tinggi di
Indonesia.
F. Pendidikan Luar Sekolah
Selama pelita V, di
perkirakan sebanyak 5,3 juta warga masyarakat telah dibebaskan dari buta huruf.
Hasilnya adalah semakin menurunnya jumlah masyarakat yang buta huruf.
G. Tantangan ,kendala dan peluang
Ada sejumlah
tantangan yang di hadapi oleh pembangunan pendidikan Indonesia pada masa-masa
selanjutnya, yaitu :
(a)
Belum mempunyai pendidikan mengimbangi perubahan
struktur ekonomi dari pertanian
tradisional ke indrustri dan jasa,
(b)
Masih rendahnya relevansi pendidikan,
(c)
Masih rendah dan belum meratanya mutu
pendidikan,
(d)
Masih tingginya angka putus sekolah dan tinggal
kelas yang mengakibatkan ketidakstabilan dalam penyelenggaraan pendidikan,
(e)
Masih
banyaknya kelompok untuk 10 tahun keatas yang buta huruf,
(f)
Masih kurangnya peran serta dunia usaha dalam
pendidikan.
(g)
Ada kendala yang dihadapi dalam peningkatan
kinerja pendidikan nasional, yaitu:
1. Dari
pihak masyarakat, kendala tersebut adalah kemiskinan dan keterbelakangan yang
berkaitan dengan masih rendah nya penghargaan akan pendidikan pada sebagian
kelompok masyarakat,
2. Terbatasnya
jumlah guru yang bermutu disamping penyebarannya yang tidak merata,
3. Terbatasnya
sarana prasarana, dan
4. Manajemen
sistem pendidikan yang belum secara terarah menuju peningkatan
mutu,relevansi,dan efesiensi pendidikan
(h)
Adapun peluang yang dimiliki oleh pendidikan
nasional adalah:
1. Keberhasilan
wajib belajar 6 tahun yang memberikan landasan bagi pelaksanaan wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahu
2. Semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan ,
3. Semakin
luasnya sarana komunikasi,
4. Semakin tersebar luasnya lembaga pendidikan
negeri maupun swasta,
5. Adanya
UU no 2/1989 tentang sistem pendidikan nasional yang memberikan landasan yang
kokoh bagi pendidikan nasional.
Dalam rangka
menciptakan sistem pendidikan nasional yang mantap, berorientasi pada
pencapaian tujuan pendidikan nasional, serta mampu menjawab tantangan masa kin
dan masa depan, pendidikan nasional dewasa ini terus ditata dan dikembangkan
dengan meberikan prioritas pada aspek-aspek yang dipandang strategis bagi masa
depan bangsa. Prioritas tersebut adalah pelaksanaan wajib belajar pendidikan
dasar sembilan tahun yang bersamaan dengan peningkatan mutu, relevansi, dan
efisiensi pada semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.
Pendidikan
di Indonesia Dewasa Ini
Dalam
rangka menciptakan sistem pendidikan nasional yang mantap, pendidikan nasional
dewasa ini terus ditata dan dikembangkan dengan memberikan prioritas pada
aspek-aspek yang dipandang strategis bagi masa depan bangsa. Prioritas tersebut
adalah wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun bersamaan dengan
peningkatan mutu.
A.
Wajib
Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Pada
tanggal 2 Mei 1994 wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk tingkat SLTP
mulai diprioritaskan. Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun mempunyai
dua tujuan utama. Pertama, meningkatkan pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan bagi semua kelompok umur 7-15 tahun. Kedua, untuk meningkatkan mutu
sumber daya manusia Indonesia hingga mencapai SLTP.
Peningkatan
lamanya wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun memungkinkan peserta didik
untuk lebih lama belajar di sekolah. Hal ini memberikan kesempatan yang lebih
banyak kepada peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan, kemampuan, dan
keterampilan yang dibutuhkan. Dengan adanya wajib belajar pendidikan dasar
sembilan tahun, maka semua lulusan SD didorong untuk melanjutkan ke SMP.
Sasaran-sasaran wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun adalah, pertama, meningkatkan
angka partisipasi tingkat SMP. Kedua, meningkatkan jumlah lulusan SD/MI.
Ketiga, tercapainya jumlah SD yang minimal berkualifikasi DII. Untuk menunjang
tercapainya sasaran, dilakukan penambahan gedung sebanyak 3.000 unit dan 20.000
ruang kelas baru. Tantangan yang dihadapi oleh program wajib belajar pendidikan
dasar sembilan tahun memang lebih berat. Alasannya, pertama, hanya sekitar
separuh dari kelompok umur 13-15 tahun yang berada di sekolah. Kedua, daya
dukung sumber daya berupa dana, sarana dan tenaga yang dimiliki oleh Indonesia
untuk pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Ketiga, guna
menampung anak usia 13-15 tahun di SLTA diperlukan sarana, biaya, dan tenaga.
B.
Pelaksanaan
Kurikulum 1994
Kurikulum
1994 diberlakukan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994/1995. Kurikulum 1994
disusun dengan maksud agar proses pendidikan dapat selalu menyesuaikan diri
dengan tantangan yang terus berkembang, sehingga mutu pendidikan akan semakin
meningkat. Menyusul terjadinya reformasi, dilakukan kembali revisi atas
Kurikulum 1994 dengan menata kembali struktur program yang kemudian dikenal
dengan Kurikulum 1994 Yang Disempurnakan.
C.
Pengadaan
Buku Pelajaran
Pemerintah
menyediakan buku paket sebagai buku teks pokok yang diadakan secara cuma-cuma
kepada semua SD/MI di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta. Pengadaan
buku paket bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan cara
meningkatkan produksi dan distribusi buku yang lebih bermutu, menjamin
ketersediaannya di kelas serta pemanfaatannya secara maksimal oleh guru dan
siswa. Sementara untuk memenuhi kebutuhan buku teks pokok untuk SLTP,
pemerintah menyediakan buku-buku tersebut
yang diedarkan secara cuma-cuma ke semua sekolah. Pengadaan buku paket
tersebut seluas mungkin mengundang kepedulian semua pihak khususnya mereka yang
berkepentingan terhadap buku. Misalnya, orangtua , guru , kepala sekolah,
pejabat pendidikan. Orangtua harus tau anaknya akan mendapat buku secara
cuma-cuma. Guru dan kepala sekolah harus paham bahwa siswanya akan mendapat
buku untuk setiap mata pelajaran dan buku itu harus digunakan di sekolah
tersebut. Pejabat pendidikan juga harus mengetahui bahwa setiap sekolah wajib
dapat buku baik negeri mau pun swasta.
D.
Pembinaan
Mutu Guru
Banyak
faktor yang menentukan mutu pendidikan pada umumnya, yaitu mutu murid sendiri,
sarana dan prasarana, dan juga guru. Mengenai peranan mutu guru, studi
Balitbang Dikbud menyimpulkan bahwa ada korelasi antara tingkat pencapaian
siswa dengan penguasaan guru dalam mata pelajaran, semakin tinggi penguasaan
guru terhadap materi pelajaran, makin tinggi pula prestasi belajar siswa.
Kenyataan
yang perlu dicermati berkaitan dengan guru ialah, pertama, pada SLTP dan SMA
terdapat ketidaksesuaian antara bidang keahlian dengan mata pelajaran yang ditangani.
Hal ini menuntut penanganan, karena akan menghambat peningkatan mutu. Kedua,
rata-rata pendidikan guru masih harus ditingkatkan. Misal persyaratan minimal
untuk guru SD adalah DII, SLTP minimal DIII, SMA minimal S1, dan sebagainya.
Kedua
masalah itu harus ditangani secara serius karena akan berdampak pada mutu
pendidikan yang dihasilkan. Secara umum mutu guru harus ditingkatkan, misal
seminar-seminar dan penataran/pelatihan.
E.
Pendidikan
Menengah Umum
Agenda
penting Sekolah Menengah Umum (SMU) adalah meningkatkan daya tampung yang
sejalan dengan peningkatan mutu dan efektivitas program pendidikan di SMU.
Dengan demikian semakin tinggi angka partisipasi pada pendidikan dasar sebagai
hasil dari pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Untuk mengatasi
masalah tersebut, dilakukan upaya-upaya peningkatan daya tampung melalui
pembangunan unit/gedung baru dan pembangunan ruang kelas baru. Idealnya semua
SMU mampu menghasilkan lulusan bermutu tinggi yang menjadi masukan/input ke
perguruan tinggi. Akan tetapi pada kenyataannya belum semua SMU mampu
menghasilkan lulusan yang bermutu tinggi karena berbagai keterbatasan.
F.
Pendidikan
Menengah Kejuruan
Potensi
SMK di indonesia sangat besar yang meliputi 4.092 SMK yang terdiri atas 726 SMK
negeri dan 3.366 SMK swasta. Di SMK usaha-usaha untuk semakin mendekatkan
sekolah dengan dunia kerja dilakukan secara intensif melalui model Pendidikan
Sistem ganda (PSG) yang di mulai pada tahun 1994 PSG di SMK pada dasarnya
menganut 2 prinsip :
1. Program
pendidikan kejuruan di SMK merupakan program bersama (joint program) antara SMK dengan industri yang menjadi mitra
sekolah melaksanakan PSG.
2. Program
pendidikan kejuruan SMK dilaksanakan, yaitu sebagian di sekolah untuk teori dan
praktek dasar, dan di industri untuk praktek ketrampilan industri untuk praktek
ketrampilan produktif.
Pelaksanaan
PSG di ikuti pula oleh penataan secara menyeluruh sistem pendidikan di SMK yang
meliputi kurikulum, guru, sarana dan prasarana, dan kepemimpinan sekolah. Untuk
lebih meningkatan peran dunia industri dalam pelaksanaan PSG, telah di bentuk
Majelis Pendidikan Kejuruan ( MPK ) di tingkat nasional, provinsi dan sekolah. Sampai saat ini, PSG telah berjalan di
semua SMK negeri dan SMK swasta dengan kualitas pelaksanaan yang berbeda
G. Pendidikan Tinggi
Upaya untuk
meningkatkan kualifikasi pendidikan tinggi, dosen disertai dengan pasca
sarjana. Pada tahun 1994 sebanyak 22 PTN dan 39 PTS menyelenggarakan program Pascasarjana (S2) dengan jumlah
mahasiswa sekitar 8ribu orang.Jumlah ini diproyeksikan untuk meningkat hingga
mencapai 12 ribu mahasiswa pascasarjana.
Perkembngan
lain yang perlu dicatat ialah berdirinya badan akreditasi Nasional Pergurun
Tinggi (BAN-PT) pada tahun 1995 BAN-PT menandai babak baru dalam dunia
pendidikan tinggi indonesia tugasnya ialah melakukan penilaian berkala terhadap
perguruan tinggi yang meliputi kurikulum,mutu dan jumlah tenaga
kependidikan,keadaan mahasiswa,pelaksanaan pendidikan ,sarana dan
prasarana,kepegawaian,keuangan dan kerumah tanggaan.Berdasarkan hasil penilaian
teressebut ditetapkan lah status akreditasi program study di perguruaan
tinggi.Sebagai suatu badan yang independen,BAN-PT memikul tugas yang tidak
ringan karena harus melakukan penilaian secara berkala dan berkesinambungan
terhadap semu PT baik PTN maupun PTS
H.
Agenda
Agenda Ke Depan
Memasuki
pergantian abad,yaitudari abad ke 20 ke abad 21 yang dikenal dengan milenium ke
3,pendidikan Indonesia dihadapkan padatantangan tantangan yang berat dalam
rangka menyiapkan sumber daya manusia yang bermutu.Dengan bertolak dari
kemajuan kemajuan yang telah di capai sebelumnya,yang dikemukakan beberapa
agenda pembangunan pendidikan di Indonesia untuk saat ini dan masa depan.
1. Penuntasan
program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dengan cara :
-
Menambah jumlah gedung dan ruang kelas
baru yang didekatkan dengan tempat tinggal.
-
Memperkuat kelembagaan SLTP swasta agar
pencapaian sasaran wajib belajar lebih meningkat
-
Memperluas jangkauan SLTP terbuka
melalui pembukaan SLTP SLTP terbuka baru dan menambah tempat kegiatan belajar
(TKB)dan kejar paket B
-
Meningkatkan peran serta masyarakat dan
kesadaran orangtua dalam pelaksaan wajib belajar
2. Peningkatan
daya tampung SLTA (SMU dan SMK) dan Perguruan Tinggi dengan dilaksanakannya
wajib belajar9 tahun, maka jumlah lulusan SLTP akan semakin meningkat yang akan
meumbuhkan kebutuhan yang lebih besar terhadap tersedianya pendidikan ke SLTA.
Hal yang sama berlakunpada perguruan tinggi daya tampung perguruan tinggi
khususnya PTN perlu terus dipacu untuk meningkatkan mutu dan relevansi
pendidikan.
3. Peningkatan
mutu dan relevansi pendidikan pada semua jalur perlu terus dilanjutkan
mengingat tuntutan sektor-sektor pembangunan dan masyarakat terhadap pendidikan
yang bermutu semakin besar dengan metode pengajaran yang perlu di tingkatkan
engan cara peniingkatan mutu guru perlu ditangani secara lebih intensif dan
pengelolaan sumber daya pendidikan yang tersedia lebih baik lagi.
4. Pemanfaatan
sumberdaya pendidikan yang jumlahnya terbatas perlu dilanjutkan sehingga
benar-benar dapat memberikan hasil yang maksimal terhadap pemerataan
kesempatan, peningkatan mutu.
5. Pelaksanaan
desentralisai pendidikan sejalan dengan undang-undang No.22/1999 tantang
pemerintahan daerah akan membawa implikai yang lua pada model dan pola
managemen pendidikan. Managemen pendidikan yang selama ini cenderung di ubah
menjadi desentralistik dengan cara menyerahkan sebagian besar penanganan
program-program pendidikan.
Komentar
Posting Komentar